RSS

Tafsir Maudhu’i



Tafsir Maudhu’i

A.      Pengertian Tafsir Maudhu’i
                        Secara bahasa kata maudhu’i berasal dari kata موضوع  yang merupakan isim maf’ul dari kata وضع yang artinya masalah atau pokok pembicaraan, yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan manusia yang dibentangkan ayat-ayat al-Quran. Berdasarkan pengertian bahasa, secara sederhana metode tafsir maudhu’i ini adalah menafsirkan ayat-ayat Al-quran berdasarkan tema atau topik permasalahan.
Adapun pengertian tafsir maudhu’i (tematik) menurut istilah para ulama ialah “Mengumpulkan ayat-ayat Al-qur’an yang mempunyai tujuan satu yang bersama-sama membahas judul/topik/sektor tertentu dan menerbitkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan.”
Jadi, Tafsir maudhu’i atau tematik adalah tafsir berperan sangat penting khususnya pada zaman sekarang, karena tafsir maudhu’i dirasa sangat sesuai dengan kebutuhan manusia dan mampu menjawab permasalahan yang ada.Tafsir maudhu’i atau tematik ada berdasar surah Al-Qur’an ada berdasar subjek atau topik.
Sedangkan, Metode tafsir maudhu’i adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menerbitkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan, dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat yang lain kemudian mengambil hukum-hukum darinnya.


B.     Sejarah Tafsir maudhu’i
Dasar-dasar tafsir maudhu’i telah dimulai oleh Nabi SAW sendiri ketika menafsirkan ayat dengan ayat, yang kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’sur.  Seperti yang dikemukakan oleh al Farmawi bahwa semua penafsiran ayat dengan ayat bisa dipandang sebagai tafsir maudhu’i dalam bentuk awal. Menurut Quraish Shihab, tafsir tematik berdasarkan surah digagas pertama kali oleh seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Karim. Sedangkan tafsir maudhu‘i berdasarkan subjek digagas pertama kali oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy, seorang guru besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut, jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir ini digagas pada tahun seribu sembilan ratus enam puluhan. Buah dari tafsir model ini menurut Quraish Shihab di antaranya adalah karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad,
al-Insân fî al-Qur’ân,al-Mar’ah fî al-Qur’ân, dan karya Abul A’la al-Maududi, al-Ribâ fî al-Qur’ân.Kemudian tafsir   model ini dikembangkan dan disempurnakan lebih sistematis oleh Prof. Dr. Abdul Hay al-Farmawi,  pada tahun 1977, dalam kitabnya
al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu‘i: Dirasah Manhajiyah  Maudu‘iyah. Namun  jika, merujuk pada catatan lain, kelahiran tafsir tematik jauh lebih awal dari apa yang dicatat Quraish Shihab, baik tematik berdasar surah maupun berdasarkan subjek.

C.     Pembagian Tafsir Maudhu’i
Dalam perkembangannya, metode maudhu’i memiliki dua bagian :
Ø  Mengkaji sebuah surat dengan kajian universal (tidak parsial), yang di dalamnya dikemukakan misi awalnya, lalu misi utamanya, serta kaitan antara satu bagian surat dan bagian lain, sehingga wajah surat itu mirip seperti bentuk yang sempurna dan saling melengkapi. Contoh :

الحمد لله مافي السموات وما في الأرض وله الحمد في الأخرة وهو الحكيم الخبير, يعلم ما يلج في الأرض ومايخرج منها وماينزل من السماء وما يعرج فيها وهو الرحيم الغفور

Artinya: “ Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun. (Q.S Saba [34] :1-2)
Di Al-Qur’an surat saba’: 1-2 ini diawali pujian bagi Allah dengan menyebutkan kekuasaan-Nya. Setelah itu, mengemukakan pengetahuan-Nya yang universal, kekuasaan-Nya yang menyeluruh pada kehendak-Nya yang bijak.
Ø  Menghimpun seluruh ayat Al-qur’an yang berbicara tentang tema yang sama. Semuanya diletakkan dibawah satu judul, lalu ditafsirkan dengan metode maudhu’i. Contohnya: Allah SWT, berfirman:

فتلقى أدم من ربه كلمت فتاب عليه إنه هو التواب الرحيم. (البقرة: 37)

Artinya: “ Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dan tuhannya , maka Allah menerima tibatnya, sesungguhnya Allah maha penerima tobat lagi maha penyayang.” (Q.S Al-Baqarah [2] : 37)

D.    Kedudukan Tafsir Maudhu’i

               Ali Hasan al-Aridl, mengatakan bahwa urgensi metode maudhu’i dalam era sekarang ini yaitu: Metode maudhu’i berarti menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang tersebar pada bagian surat dalam al-Qur’an yang berbicara tentang suatu tema. Tafsir dengan metode ini termasuk tafsir bi al-ma’tsur dan metode ini lebih dapat menghindarkan mufassir dari kesalahan. Dengan menghimpun ayat-ayat tersebut





seorang pengkaji dapat menemukan segi relevansi dan hubungan antara ayat-ayat itu. Dengan metode ini seorang pengkaji mampu menolak dan menghindarkan diri dari kesamaran-kesamaran dan kontradiksi-kontradiksi yang ditemukan dalam ayat.Metode maudhu’i sesuai dengan perkembangan zaman modern dimana terjadi diferensiasi pada tiap-tiap persoalan dan masing-masing masalah tersebut perlu penyelesaian secara tuntas dan utuh seperti sebuah sistematika buku yang membahas suatu tema tertentu. Dengan metodemaudhu’i orang dapat mengetahui dengan sempurna muatan materi dan segala segi dari suatu tema.
Dengan demikian metode maudhu’i dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh ummat dewasa ini, karena metode maudhu’i mampu menghantarkan ummat (pembaca Tafsir) ke suatu maksud dan hakekat suatu persoalan dengan cara yang paling mudah, sebab tanpa harus bersusah payah dan memenuhi kesulitan dalam memahami tafsir. Selain itu sisi lain yang dilihat adalah dengan metode maudhu’i, mufassir berusaha berdialog aktif dengan al-Qur’an untuk menjawab tema yang dikehendaki secara utuh, sementara kalau kita perhatikan penafsiran al-Qur’an dengan metode tahlili, mufassir justru bersikap pasif sebab hanya mengikuti urutan ayat dan surat dalam al-Qur’an.

E.     Kelebihan dan kekurangan Tafsir Maudhu’i
·         Salah satu kelebihan metode tafsir maudhu’i antara lain:
Menjawab tantangan zaman: Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Maka metode maudhu’i sebagai upaya metode penafsiran untuk menjawab tantangan tersebut. Untuk kajian tematik ini diupayakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.
·         Kekurangan metode tafsir maudhu’i antara lain:
 Memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.






F.     Contoh dari Tafsir Maudhu’i dikehidupan sehari-hari

Contohnya dalam kehidupan sehari-hari banyak kita jumpai. Salah satunya yaitu tentang kejujuran.
Jujur dapat diartikan bisa menjaga amanah. Jujur merupakan salah satu sifat manusia yang mulia, orang yang memiliki sifat jujur biasanya dapat mendapat kepercayaan dari orang lain. Sifat jujur merupakan salah satu rahasia diri seseorang untuk menarik kepercayaan umum karena orang yang jujur senantiasa berusaha untuk menjaga amanah. Amanah adalah ibarat barang titipan yang harus dijaga dan dirawat dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Berhasil atau tidaknya suatu amanat sangat tergantung pada kejujuran orang yang memegang amanat tersebut. Jika orang yang memegang amanah adalah orang yang jujur maka amanah tersebut tidak akan terabaikan dan dapat terjaga atau terlaksana dengan baik. Begitu juga sebaliknya, jika amanah tersebut jatuh ke tangan orang yang tidak jujur maka ‘keselamatan’ amanah tersebut pasti ‘tidak akan tertolong’. Dengan demikian, jujur dapat pula diartikan kehati-hatian diri seseorang dalam memegang amanah yang telah dipercayakan oleh orang lain kepada dirinya. Karena salah satu sifat terpenting yang harus dimiliki bagi orang yang akan diberi amanah adalah orang-orang yang memiliki kejujuran. Karena kejujuran merupakan sifat luhur yang harus dimiliki manusia.
Sebagaimana dalam islam diajarkan bagaimana kejujuran ini harus ditegakkan di dalam setiap tindakan dimanapun kita berada seperti disebutkan dalam firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS al-Taubah [9]:199)

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (Q.S. an-Nisa: 58).

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu menghianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Q.S. al-Anfal: 27).

Kejujuran merupakan bagian dari akhlak mulia yang harus ditegakkan, Saat ini kita membutuhkan teladan yang jujur, teladan yang bisa diberi amanah umat dan menjalankan amanah yang diberikan dengan jujur dan sebaik-baiknya. Dan teladan yang paling baik, yang patut dicontoh kejujurannya adalah manusia paling utama yaitu Rasulullah saw. Kejujuran adalah perhiasan Rasulullah saw. dan orang-orang yang berilmu.oleh karena itu pemupukan keinginan pun tentunya perlu dibangun untuk menjadi kontrol dalam mencapai akhlak yang mulia ini.


0 komentar:

Posting Komentar